Nusantaranomics sebagai model ekonomi lokal khas Indonesia, yang berbasis usaha bersama dan kekeluargaan ada pada masyarakat etnik dan lokal di perdesaan. Hal ini selaras dengan fakta bahwa sektor-sektor berbasis agromaritim yang sebagian besar basisnya di perdesaan menunjukan pertumbuhan yang positif di era pandemi Covid-19. ungkap Dr Eva Anggraini, Direktur Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis, saat memberikan sambutan dalam The 30th IPB Strategic Talk yang bertajuk “Peran Kewirausahaan Lokal dan Etnik dalam Membangun Ekonomi Daerah dan Perdesaan”.
Seri ketiga diskusi Nusantaranomics ini terlaksana atas Kerjasama antara Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis IPB, Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (LKEN), dan Komunitas Angkringan Bentara Rakyat (AKAR).
Pendiri AKAR, Muhammad Karim menegaskan bahwa gagasan nusantranomics sejatinya berakar dari kearifan dan pengetahuan lokal serta kemajemukan budaya masyarakat etnis Nusantara. Untuk itu gagasan Nusantaranomics dengan nilai-nilai etnisitas yang berbasis daerah dan pedesaan perlu terus dikembangkan dan digaungkan. Gagasan ini melawan gagasan mindstream ekonomi global, sebab dalam nusantaranomics ada basis filosofi hidup, kreativitas, dan inovasi serta spirit kewirausahaan sosial etnik yang beragam. Ada pula warisan teknologi secara turun-temurun.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Jember, Dr. Rokhani, S.P, M.Si turut mengemukakan hasil penelitiannya diKabupaten Simalungun, Sumatera Utara bahwa praktik-praktik nusantaranomics melalui kelembagaan lokal ekonomi, seperti marsidapari atau gotong royong, Ibumi (Ikatan batak muslim), wirid dan persatuan, bestelan dan beskoman sangat kental dengan nilai-nilai yang melahirkan ekonomi solidaritas. terbentuknya benih-benih ekonomi solidaritas dalam kelembagaan lokal relatif mudah karena umumnya wirausaha lokal sudah mengakar kuat.
Ia menambahkan, bahwa kekuatan ekonomi wirausaha lokal bahkan dapat melahirkan ekonomi moral. ikatan-ikatan berbasis nilai lokal atau etnisitas yang mendorong wirausaha lokal bukan hanya diidorong oleh motif ekonomi, tapi juga didorong oleh motif sosial. “Dalam perspektif ini, pasar dalam ekonomi lokal menjadi kepentingan bersama dalam membangun ekonomi lokal”.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Kepala LPPM IPB, Dr Sofyan Sjaf menuturkan bahwa sejatinya etinisitas tidak dapat dipisahkan dari aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari, sebab sangat berkaitan satu sama lain. Ia menyatakan, politik lokal dan etnisitas sangat sarat akan politik identitas dalam wilayah-wilayah perdesaan.
Dosen SKPM IPB University tersebut menguraikan bahwa praktik etnisitas dalam pembangunan ekonomi lokal, umumnya adalah persaingan kepentingan antara etnis mayoritas dan etnis minoritas. Dengan demikian, praktik- politik lokal sudah sangat umum terjadi dan sarat dengan politik identitas.
Menurutnya, dampak etnisitas pada pembangunan sangat ditentukan oleh peran aktor dan relasi jaringanya. Sebuah studi kasus di Kendari, Sulawesi Tenggara menjelaskan praktik etnisitas yang sudah lama terbangun telah menjadi bagian dari konsep subyektifitas dan objektifitas. Dominasi subyektifitas aktor terhadap posisi etnisitas akan berdampak negatif, sebaliknya dominasi obyektifitas aktor akan berdampak positif terhadap pembangunan desa.
Umumnya, semakin semakin homogen suatu desa, maka gini rasio akan semakin tinggi, sehingga potensi ketimpangan makin tinggi, tambahnya. “Sebenarnya, dalam pembangunan desa-desa, banyak kegagalan terjadi hanya karena klan-klan yang telah lama menguasai berbagai sumber daya strategis berupaya untuk terus mempertahankan kekuasaanya”, jelas penggas data desa presisi tersebut.
Guru Besar FEMA IPB University, Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MA secara kritis menanggapi agregasi nusantaranomics khususnya pada persoalan hak atas tanah dan tenurial. Ia menuturkan bahwa umumnya kepemilikan lahan di desa-desa semakin sempit dan menyusut, sehingga lapangan pekerjaan yang tersedia juga berkurang. Hal tersebut berdampak pada rendahnya pendapatan dari pertanian bila dibandingkan rata-rata nasional. Sementara itu, di Luar Jawa, banyak ditemukan wirausaha lokal yang berperan dalam praktik ekonomi daerah dan perdesaan. Mereka datang dari etnik-etnik besar dan melakukan penyuburan budaya dengan etnik asli daerah tersebut.
Pakar Agraria tersebut mengungkapkan, bahwa kita perlu membuka dan menata ulang politik pembangunan dan otonomi daerah, karena kemelaratan atau kemiskinan justru tetap lestari. Oleh sebab itu pemerintah wajib berusaha melakukan pembagian kekayaan nasional secara adil dan merata. Tidak hanya itu, kita harus mengembangkan aktivitas ekonomi dengan tekanan pada usaha mendorong tumbuhnya prakarsa dari bawah.
Menanggapi hal tersebut, penggagas Nusantaranomics, Prof Didin S Damanhuri menuturkan bahwa hidupnya wirausahawan lokal dengan kelenturanya telah dibuktikan dengan pertanian rakyat yang survive. “Ada aspek positif dalam ide agregasi nusantaranomic, dan ada dampak positif yang timbul dengan lahirnya kewirausahaan lokal”, ungkap Didin. “Di era reformasi manjadi pertanyaan besar, apakah korporasi nasional mematikan kewirausahaan lokal. Sementara kewirausahaan lokal justru berpotensi makin kuat dalam perkeonomian Indonesia”, Dengan demikian, nusantaranomics bisa menjadi agregasi kebangkitan ekonomi nasional yang berbasis kewirausahaan lokal.